Inilah Jaringan Wahabi-Salafi (4-Habis)

Gerakan Juhaiman Al Utaibi, Gerakan Jihad Para Perampok Pada 32 tahun lalu, tepatnya tanggal 20 November 1979 di Makkah terjadi sebuah p...

Gerakan Juhaiman Al Utaibi, Gerakan Jihad Para Perampok
Pada 32 tahun lalu, tepatnya tanggal 20 November 1979 di Makkah terjadi sebuah peristiwa menggemparkan dunia. Ketika itu sekelompok pemuda Arab merebut Masjidil Haram dengan kekuatan senjata dan mengklaim bahwa Masjid Suci berada di bawah kendali mereka. Mereka menyandera para jamaah Masjidil Haram, membunuh polisi yang melawan, serta mengelilingi masjid dengan sistem pertahanan militer. Gerakan ini dipimpin oleh seorang putra gurun NEJD, yaitu Juhaiman Al Utaibi.

Gerakan pemuda Arab ini bukan saja membuat Kerajaan Saudi kalang-kabut, tetapi membuat Dunia Islam merasa kalut dan cemas. Bahkan Amerika dan Eropa pun ikut ketar-ketir menyaksikan serangan militer yang tak terduga itu. Hampir tidak pernah ada yang menduga jika Masjidil Haram direbut dan dikendalikan sebuah milisi bersenjata. Mereka kurang dikenal, tidak tahu dari mana arahnya, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba sudah menguasai Masjid Suci yang penuh berkah itu. Gerakan Juhaiman nyaris luput dari perhatian intelijen.

Setelah bertahan beberapa minggu, gerakan bersenjata Juhaiman berhasil ditaklukkan.Sandera dibebaskan, Masjidil Haram diamankan, dan para pemberontak di tangkap. Dari kontak senjata yang terjadi, 75 pengikut Juhaiman terbunuh, 170 orang ditahan. Dari pihak pasukan Saudi, 60 orang terbunuh, 200 orang terluka. Masjidil Haram As Syarif mengalami kerusakan-kerusakan, sehingga membutuhkan waktu beberapa bulan untuk memulihkannya kembali. Akhir dari drama kekerasan ini, 63 orang kelompok Juhaiman dijatuhi hukuman pancung di 8 kota Saudi. Juhaiman sendiri dan Sayyid (saudara “Al Mahdi”), dipancung di Makkah.

Data di atas diambil dari buku berjudul, Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak. Ditulis seorang jurnalis, The Wall Street Journal, Yaroslav Trofimov. Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Alvabet, Tangerang Jakarta. Cetakan kedua Februari 2008. Judul aslinya, The Siege Of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and The Birth of Al Qaeda. (Pengepungan Makkah: Pemberontakan yang terlupakan di tempat paling suci Ummat Islam dan awal kelahiran Al Qaidah).

Sebagaimana lazimnya buku karya penulis Barat, opini-opini yang dikembangkan cenderung sensasional dan buthek (keruh) oleh asumsi-asumsinya sendiri. Mereka melihat suatu kenyataan tidak seperti orang-orang beriman melihatnya. Sikap sekuler dan meremehkan nilai-nilai keagamaan, merupakan ciri khas buku-buku mereka. Kalau membaca buku seperti itu, secara otomatis harus di-scan dulu, agar “virus” yang bertebaran dimana-mana tidak menyebar ke sel-sel otak.

Sebagai sebuah studi sejarah, opini Yaroslav Trofimov tentang peristiwa pengepungan Masjidil Haram, tidak perlu diterima. Tetapi data-data umum yang dia sampaikan, bisa menjadi referensi untuk memahami suatu realitas sejarah.

Sebuah Gerakan Kritis
Banyak pemuda Islam yang menyangka bahwa gerakan Juhaiman dan para pengikutnya adalah gerakan Syi’ah. Bukan sama sekali. Ia adalah gerakan murni para pemuda gurun Najd yang sangat keras dalam memegang ajaran-ajaran SALAFY Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan para pemuda itu amat sangat anti kaum Syi’ah yang banyak terdapat di Provinsi Saudi Timur.

Misi utama dari gerakan Juhaiman Al Utaibi ini ada dua poin. Pertama, mereka sangat kritis terhadap kebijakan-kebijakan Kerajaan Saudi yang dianggap sudah banyak menyimpang dari kebenaran. Mereka menolak kebijakan Pemerintah Saudi yang memperbolehkan beredar fotografi, membuat radio, televisi, memberi keleluasaan gerak kepada kaum wanita, mengimpor barang-barang produk Barat, dan lain-lain. PEMIKIRANyang sama juga dianut oleh gerakan-gerakan pemuda Islam di Saudi saat ini yang kemudian diidentifikasi sebagai bagian dari Al Qa’idah.

Kedua, Juhaiman dan para pengikutnya meyakini bahwa kemunculan IMAM MAHDI di Kota Suci Makkah merupakan keharusan untuk menyelesaikan berbagai situasi yang mereka anggap sebagai kemungkaran agama di atas. Hanya saja, dalam hal ini mereka memaksakan munculnya Al Mahdi, bukan memahami bahwa kemunculannya terjadi secara alamiah, tidak dipaksakan. Ketika ada sepupu Juhaiman yang bernama Muhammad dan ayahnya Abdullah, yang memiliki ciri-ciri spiritual yang baik, dia diklaim sebagai Al Mahdi yang dijanjikan Allah. “Al Mahdi” inilah yang kemudian menjadi primadona gerakan perebutan Masjidil Haram. Meskipun, pada akhirnya dia terbunuh juga dalam kontak senjata dengan pasukan keamanan Saudi.

Perlu diketahui, gerakan Juhaiman juga mendapat dukungan dari Jamaah Islamiyyah di Mesir. Salah satu tokohnya, Muhammad Ilyas mendukung gerakan Juhaiman dan di kemudian hari ikut diringkus oleh tentara Saudi. Muhammad Ilyas akhirnya dihukum mati (pancung) di Riyadh, bersama tertuduh lainnya.
Muhammad Ilyas dan kawan-kawan tidak peduli dengan klaim “Al Mahdi” versi Juhaiman Al Utaibi. Bisa dikatakan, mereka menertawakan klaim “Al Mahdi” itu. Tetapi mereka memiliki kesamaan sikap dengan Juhaiman Al Utaibi, yaitu dalam mengkritisi Kerajaan Saudi. Siapapun yang mengkritisi penyimpangan Kerajaan atas dasar tinjauan Islam, mereka akan sepakat dengannya.

Jika di kemudian hari Jamaah Islamiyyah bersepakat dengan Al Qaidah, ditandai dengan kedekatan antara Ayman Al Zhawahiri (Jamaah Islamiyyah) dan Usamah bin Ladin (Al Qa’idah), hal itu tampak wajar. Al Zhawahiri mewakili sikap kritis Jamaah Islamiyyah di Mesir, sedang Bin Ladin mewakili potensi kritis dari masyarakat Saudi sendiri. Perlu dicatat juga, Jamaah Islamiyyah (JI) merupakan pecahan dari jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka dulu yang melakukan serangan kepada Anwar Sadat sehingga terbunuh. Jelas pemerintah Mesir melarang keberadaan JI.

Sikap JI sangat keras dalam soal wajibnya penegakan Syariat Islam. Hingga untuk pemerintahan seperti Kerajaan Saudi pun mereka mengkritiknya dengan sangat pedas. Bukan sekedar mengkritik, tetapi sudah sampai pada titik membatalkan legitimasi Kerajaan Saudi. Mungkin, karena alasan itu pula sebagian kalangan SSALAFY di Saudi sangat anti pati kepada Ikhwanul Muslimin (IM). Al Ikhwan dianggap sebagai bidan yang melahirkan JI. Wallahu a’lam.

Sangat menarik kalau memahami Jamaah Islamiyyah. Ia muncul dari Mesir, sebuah kultur masyarakat Arab yang sebenarnya dikenal ramah dan moderat. Ternyata, di balik keramahan Mesir itu ada potensi militansi besar. Bukan rahasia lagi bahwa pemuka-pemuka JI berani berbeda pendapat dengan Dewan Fatwa Al Azhar, Dewan Fatwa Saudi, bahkan pendapat Syaikh Al Albani  sekalipun. Dan tentu saja, JI mengkritisi Ikhwanul Muslimin.

Hidup di Pengasingan
Salah satu pemimpin legendaris JI adalah Syaikh Umar Abdurrahman. Beliau ulama tunanetra, pernah dipenjara oleh Pemerintah Mesir karena pandangan-pandangannya sangat radikal. Hampir tidak ada negara Timur Tengah yang mau menerima keberadaan Syaikh Umar Abdurrahman. Oleh karena itu, beliau memutuskan tinggal di Amerika diikuti sebagian murid-muridnya.

Situasi Syaikh Umar Abdurrahman ada kesamaan dengan nasib Dr. Said Ramadhan Al Buthy. Beliau seorang pemuka Ikhwanul Muslimin, sekaligus menantu Syaikh Hasan Al Banna. Tidak ada satu pun negara Arab yang mau menerima keberadaan beliau, sehingga dirinya pindah ke Swiss dan tinggal disana. Al Buthy dianggap berjasa merintis program studi Islam di universitas-universitas Eropa. Beliau juga memiliki perbedaan pandangan dengan Syaikh Al Albani. Di bandingkan Al Qaradhawi, Syaikh Al Buthy termasuk pemuka Al Ikhwan yang sangat kritis.

Kembali ke Syaikh Umar Abdurrahman. Beliau dan murid-muridnya sejak lama dianggap radikal, sehingga ketika PBB mengeluarkan daftar organisasi teroris dunia, pasca Tragedi WTC 11 September, JI tidak dilupakan dari daftar itu. Jauh hari sebelumnya, ketika terjadi peledakan WTC pertama, Syaikh Umar Abdurrahman dan murid-muridnya dianggap sebagai tertuduh. Sampai saat ini kasus itu masih gelap. Tetapi kasus peledakan WTC pertama seketika tenggelam ketika muncul Tragedi WTC 11 September 2001. Jika ada yang ingin menanyakan peledakan WTC pertama itu, pasti pihak keamanan Amerika akan tertawa terbahak-bahak.

Tokoh-tokoh gerakan Islam banyak juga yang akhirnya bermukim di Eropa, khususnya Inggris. Tetapi tidak semua melakukan langkah itu. Lebih banyak yang memilih bertahan di negeri masing-masing. Konon, pusat gerakan Ikhwanul Muslimin internasional juga berada di Inggris. Sebagian gerakan Salafi juga ada disana, baik Salafiyah Harakah maupun ilmiyah.

Kafilah Al Ikhwan
Para pengikut Gerakan Dakwah Salafy yang dirintis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tidaklah satu warna. Di antara mereka ada yang sangat keras, sangat cair, dan ada juga yang pertengahan. Di Saudi maupun di negara-negara Islam lain, keragaman pengikut Salafiyah itu ada.

Dulu di masa perjuangan dakwah Salafiyah Syaikh Ibnu Abdul Wahhab, sebagian besar pengikut beliau berasal dari Najd, wilayah gurun Saudi. Di antara pengikut beliau ada yang bersikap ekstrem, banyak melakukan kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap musuh dakwah Syaikh Abdul Wahhab. Mereka sering berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berkuda, dan bersenjata. Di tengah masyarakat Najd mereka dikenal sebagai Kafilah Al Ikhwan. Kafilah Al Ikhwan (bukan Ikhwanul Muslimin) sering membuat keresahan dengan menyerang pihak-pihak tertentu yang dianggap sesat dari garis Salafiyah.

Pada mulanya, Kafilah Al Ikhwan dianggap sebagai pembela Salafiyah yang tangguh. Namun lama-kelamaan banyak orang merasa resah dengan sikap ekstremnya. Citra negatif dakwah Salafiyah Syaikh Abdul Wahhab sebenarnya banyak disumbangkan oleh perilaku ekstrem pengikut Al Ikhwan ini. Hingga di kemudian hari, ketika bangkit generasi Saudi II di bawah kepemimpinan Raja Abdul Aziz Al Saud (pendiri Kerajaan Saudi modern), mereka merasa kewalahan juga menghadapi kelompok Al Ikhwan ini. Sudah bukan rahasia lagi, kehadiran Al Ikhwan menjadi teror menakutkan. Mereka diserupakan dengan “hantu” yang tiba-tiba muncul dan menebar ancaman maut. Kemudian tiba-tiba menghilang.

Pemerintah Kerajaan Saudi membuat kebijakan, dalam rangka meredam potensi ekstremisme yang menurun dari Kafilah Al Ikhwan, dengan memasukkan pemuda-pemuda Najd ke dalam barisan militer Saudi. Langkah itu cukup berhasil, meskipun disana-sini ada kegagalan juga. Juhaiman Al Utaibi dan kawan-kawan dulu juga masuk dinas ketentaraan Saudi, tetapi tabiat gurun pasir yang biasa bebas, ekspressif, dan tidak basa-basi, menyulitkan mereka adaptasi dengan disiplin militer.

Bagi Kerajaan Saudi, para pengikut atau penerus sifat-sifat Kafilah A Ikhwan itu menjadi dilema tersendiri. Satu sisi, mereka memiliki jasa yang nyata dalam perjuangan dakwah Salafiyah di masa lalu; di sisi lain, sikap ekstrem dan tidak mau kompromi mereka, kerap menyulitkan Kerajaan.

Almarhum Raja Faishal tampaknya menyadari keadaan itu. Maka beliau melakukan gerakan Reformasi dengan misi mengubah citra Saudi dari negara gurun Najd menjadi negara modern. Beliau melakukan banyak langkah-langkah perbaikan, seperti perbaikan sistem administrasi negara, merintis pendidikan modern, transportasi, komunikasi, mengadakan radio-televisi, konsep industri, bisnis, dan sebagainya. Beliau juga mengundang banyak guru-guru Ikhwanul Muslimin dari Mesir untuk mengajar di sekolah-sekolah Saudi.

Langkah Reformasi Raja Faishal diterima oleh banyak kalangan, dikoreksi oleh sebagian kalangan yang tidak sepenuhnya setuju, dan ditentang oleh kalangan yang mewarisi sifat-sifat Kafilah Al Ikhwan. Oleh karena itu, kalau sekarang kita melihat para pendukung Salafiyah di Saudi, disana ada yang bersikap cair, mudah menerima perubahan-perubahan, dan tidak terlalu rese dengan penampilan zhahir. Tetapi ada pula yang sangat keras dan menentang perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak prinsipil. Di luar keduanya, ada juga yang bersikap pertengahan, tidak lunak sekali, tetapi juga tidak ekstrem.

Di mata garis keras, mencukur jenggot dianggap sebagai kemungkaran besar. Di mata garis lunak, melakukan hal itu tidak masalah. Banyak orang Saudi mencukur jenggotnya. Di mata golongan pertengahan, mereka tidak setuju dengan mencukur jenggot, tetapi juga tidak menyesatkan orang yang mencukurnya.

Secara umum, ketiga kelompok tersebut sepakat dengan pentingnya TAUHID dan SUNNAH, serta kebathilan syirik dan bid’ah. Itulah titik-temu (kata sepakat) gerakan Salafiyah,sejak dulu sampai saat ini. Wallahu a’lam bisshawaab.

Syiar Salafiyah
Juhaiman Al Utaibi dan para pengikutnya sangat kuat dalam memegang tradisi Salafiyah. Antara lain: memelihara jenggot dan tidak mencukurnya, memotong batas bawah jubah atau celana di pertengahan betis, tidak merokok, anti musik, sangat membatasi gerak-gerik kaum Muslimah, mewajibkan cadar, anti fotografi, dan lain-lain. Kalau Anda perhatikan, ciri-cirinya sangat mirip dengan saudara-saudara kita dari kalangan Salafi di Indonesia. Padahal banyak Salafi yang justru membenci Juhaiman Al Utaibi dan orang-orang semisalnya. Bagaimana bisa hal ini terjadi? Cirinya sama, tetapi sikapnya bertolak belakang?

Salafiyah memiliki ciri-ciri syiar seperti di atas. Sebagian syiar itu merupakan Sunnah Nabi, dan sebagian lain merupakan ikhtilaf fiqih yang diperdebatkan. Di tengah masyarakat Saudi sendiri, perbedaan terhadap perkara-perkara di atas ada. Mencukur janggut, menurunkan batas celana ke bawah mata kaki, merokok, membuka cadar, fotografi, dll. banyak juga dilakukan masyarakat Saudi. Andai semua itu merupakan perkara qath’i yang hukumnya haram mutlak, tentu Dewan Fatwa Saudi akan mendesak Kerajaan Saudi agar melarang perbuatan-perbuatan di atas. Termasuk juga melarang olah-raga sepak bola yang dianggap sia-sia.

Kalau menyaksikan sikap saudara-saudara salafy kita di Indonesia yang ketat dalam hal-hal di atas, hal itu wajar. Sebab, dari sumbernya disana, sikap ketat itu sudah ada. Hanya saja, sekedar saran dari saya, janganlah perbedaan-perbedaan zhahir itu lalu menjadi alasan untuk menghukumi status akidah sesama Muslim (misalnya dengan sebutan ahli bid’ah, sesat, Khawarij, hizbiyyah, dll.). Bukan tidak boleh menghukumi, tetapi kembalikan perkara zhahir kepada zhahir, jangan dijadikan dalil untuk menghapus kebaikan Aqidah seorang Muslim.

Misalnya, memotong bawah celana setengah betis. Andai karena perbuatan itu seorang Muslim kelak tidak disapa oleh Allah, tidak disucikan jiwanya, bahkan kekal tempatnya di neraka, –dengan sanksi seberat itu- tentu menjadi halal bagi kita untuk memerangi orang-orang yang tidak mengangkat celananya itu. Perbuatan mereka setara dengan kekafiran sehingga akibatnya kekal di neraka. Tetapi tidak pernah ada dalam Islam, sejak jaman Nabi sampai hari ini, sekelompok orang diperangi gara-gara mengulurkan celana melebihi mata kaki. Kalau Anda perhatikan, banyak pejabat-pejabat kerajaan di Timur Tengah (bukan hanya Saudi) yang memakai jubah sampai menutupi mata kakinya.

Gerakan Juhaiman Al Utaibi dengan merebut Masjidil Haram, menyandera jamaah masjid, menyerang petugas keamanan, dan membuat kerusakan-kerusakan di kawasan Masjid Suci adalah kezhaliman. Hal itu merupakan kemungkaran yang diharamkan. Dalam Al Qur’an: “Dan janganlah kalian memerangi mereka di Masjidil Haram, sampai mereka memerangi kalian di dalamnya. Jika mereka memerangi kalian (di Masjidil Haram), perangilah mereka.” (Al Baqarah: 191).

Secara umum, hukum yang berlaku di Tanah Suci, hewan buruannya tidak boleh ditangkap, daunnya tidak boleh dipetik, pohonnya tidak boleh dipotong, rumputnya tidak boleh dicabut (kecuali rumput idzkir), barang temuan tidak boleh diambil, kecuali untuk diumumkan. Hingga orang-orang kafir dilarang masuk ke dalamnya. [Sebagian besar larangan ini disebut dalam hadits Bukhari-Muslim]. Jika larangan terhadap hewan dan tumbuhan saja sedemikian rupa, apalagi larangan terhadap pelanggaran hak-hak kaum Muslimin dan Masjidil Haram itu sendiri. Jelas lebih terlarang membunuh Muslim, membuat kerusuhan, menodai Masjid Suci, serta mengganggu kenyamanan ibadah jamaah Masjidil Haram.

Dapat disimpulkan, tindakan Juhaiman Al Utaibi dan kawan-kawan adalah suatu fitnah (kezhaliman) yang membahayakan Masjidil Haram dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Jika Masjid Suci sebagai pusat Kiblat Ummat itu berada dalam situasi chaos, pasti kaum Muslimin sedunia akan berada dalam kebingungan besar.

Disini kita mendapatkan pelajaran menarik. Pada suatu titik, pemahaman manusia terhadap Islam menjadi sedemikian ekstrem. Mereka memegangi suatu keyakinan secara ekstrem, dan tidak memberi ruang toleransi bagi pandangan-pandangan lain. Akibatnya, keekstreman itu melahirkan kemungkaran-kemungkaran baru. Juhaiman dan kawan-kawan sangat kritis kepada Kerajaan Saudi yang dianggap sudah terlalu banyak melakukan penyimpangan Syar’i. Tetapi setelah itu mereka melakukan “kudeta” atas Masjidil Haram, dan mengklaim “Al Mahdi” telah muncul. Lihatlah kembali, Juhaiman dkk. sangat kritis dalam mencela kesalahan-kesalahan Kerajaan Saudi, tetapi mereka juga jatuh dalam kekeliruan yang lain. Sikap demikian seperti kaum Khawarij di masa lalu. Mereka mencela Ali bin Abi Thalib Ra. yang mau berunding dengan Muawiyah bin Abu Sufyan Ra. Ali dianggap sebagai Khalifah lemah yang mau tunduk kepada kemauan pemberontak. Tetapi pada saat yang sama Khawarij melakukan pemberontakan yang lebih keji. Memang, di antara manusia ada yang memiliki kecenderungan demikian.

Pada 32 tahun lalu Masjidil Haram pernah dikudeta oleh sekelompok pemuda Arab. Mereka sebenarnya pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga, tetapi bersikap ekstrem. Sikap ekstrem dimanapun selalu buruk. Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Siapa yang diharamkan kelembutan baginya, maka diharamkan baginya kebaikan seluruhnya.” (HR. Muslim). Sebuah nasehat agung dari Al Qur’an: “Rabb kalian (yaitu Allah) telah menetapkan bagi-Nya berupa kasih-sayang.” (Al An’aam: 12, 54).

Wallahu a’lam bisshawaab.

Related

Wahabi Salafi 1542622332482189415

Follow Us

Facebook

TERBARU

Arsip

Statistik Blog

item