Pati Unus, Thariq bin Ziyad Versi Indonesia

Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun (w=1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1...

Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun (w=1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung Raden Patah, pendiri Demak.
Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang: menyeberang, lor: utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis di Malaka
Tersebut dalam Hikayat Banjar, nama aslinya adalah Raden Surya Alam. Ia telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan penguasa kerajaan Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.
Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebut seorang bernama "Pate Onus" atau "Pate Unus", ipar Pate Rodim, "penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504).
Menurut sebuah riwayat, ia adalah menantu Raden Patah. Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Persia yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliq Al-Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Persia ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Syekh yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) merupakan keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husein Bin Ali. Ibunya adalah Syarifah Ummu Banin Al-Hasani keturunan Hasan bin Ali, bin Fatimah binti Rasulullah SAW.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliq Al-Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa. Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah.
Setelah Syekh Khaliq Al-Idrus menikah dengan putri Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau Pati Unus.
Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara Kertabhumi.
Tahun 1512 Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Pada tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.
Expedisi Jihad II
Memasuki tahun 1521, 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi yang juga masih sangat remaja dari seorang seorang isteri, anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid Ismail, Pulau Besar, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.
Portugis sudah siap menyambut armada perang Islam dengan puluhan meriam besar yang mencuat dari benteng Malaka.
Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid. Komando pasukan segera diambil alih Fadhlulah Khan (Falathehan/Fatahillah/Tubagus Pasai) atas pesan Sunan Gunung Jati.
Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis. Karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini .
Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur.
Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya orang Malaya (Melayu).
Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor-faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan-kesultanan Indonesia. Tidak semua kadipaten dan kesultanan mendukung invasi tersebut dengan sepenuh hati. Misalnya Kadipaten Tuban, yang dengan sengaja memperlambat armada lautnya sehingga praktis selamat dari kahancuran akibat kekalahan dari Portugis. Adipati Tuban pada saat itu, yang notabene adalah Ayah Sunan KaliJogo merasa khawatir apabila Tuban mengirim kekuatan tempurnya secara penuh, Demak akan dengan mudah membokong dan menduduki Tuban yang praktis kosong.
Wilayah-wilayah yang dikuasai Demak ada yang belum sepenuhnya memeluk Islam. Kemungkinan besar tidak mendukung invasi ke Malaka. Wilayah-wilayah tersebut bagaimanapun juga, yang notabene penduduknya masih menganut Hindu atau Budha, menganggap Islam sebagai ancaman yang akan menggeser agama tua.
Selanjutnya, masalah peralatan. Salah satu suku bangsa yang mampu membangun kapal yang baik adalah Bugis, dan suku-suku di Sulawesi dan Maluku. Pada saat Majapahit menguasai wilayah tersebut, akses teknologi perkapalan, baik sumber daya manusia maupun kayu bisa mengalir dengan lancar sehingga menjadi modal yang besar bagi ekspansi Majapahit, bahkan perjalannya sampai ke Tanjung Harapan di Afrika. Akan tetapi, pendudukan Majapahit atas wilayah Sulawesi dan Maluku tetap dianggap sebagai penjajahan oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, bukan hal yang mustahil bahwa akses teknologi perkapalan yang didapat oleh Demak tidak sepenuhnya karena masyarakat Maluku dan Sulawesi tetap menganggap Demak sebagai kelanjutan dari Majapahit.

Sumber : http://id.wikipedia.org

Related

Sejarah Umum 2489643315318859884

Follow Us

Facebook

TERBARU

Arsip

Statistik Blog

item